Jumat, 03 Februari 2017

makalah pai "gadai, wakalah, sewa menyewa, hibah shadaaaqoh waqaf"

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
“GADAI, WAKALAH, SEWA MENYEWA, HIBAH, SHADAQOH, WAKAF, DAN WASIAT”
Diajukan untuk memenuhi salahsatu tugas mata kuliah pendidikan agama islam
Dosen:
Asep Komarudin S.Ag., M.Ud
Disusun Oleh :
Nama: Isna Wardani
Nim: D1A151178
Kelas: III C Non Regular
UNIVERSITAS AL-GHIFARI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN FARMASI
BANDUNG
2016

KATA PENGANTAR


Assalamualaikum wr. wb.
Puji syukur dipersembahkan atas kehadirat Allah SWT, Dialah Tuhan yang menurunkan agama Islam sebagai agama penyelamat. Dialah Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan rahmat, inayah, taufiq dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana.
Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada baginda Rasulullah SAW. Pada kesempatan ini juga kami mengucapkan termakasih atas kedua orangtua yang telah mendukung dan memberikan fasilitas untuk menyelesaikan makalah ini. Makalah ini disusun berdasarkan referensi tentang “gadai, wakalah, sewa menyewa, hibah, shadaqoh, wakaf, dan wasiat”
Dengan memahami pengertian-pengertiannya diharapkan bagi semua pembaca makalah ini dapat memahami pembahasan dan penjelasan tentang “gadai, wakalah, sewa menyewa, hibah, shadaqoh, wakaf, dan wasiat” yang dituangkan dalam makalah ini.
Kami berharap semoga makalah ini bisa membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca. Dan semoga makalah ini dapat memberikan kontribusi positif dalam proses belajar dan mengajar. Kami sadar, bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, Kami mohon maaf bila ada informasi yang salah dan kurang lengkap. Kami juga mengharapkan kritik dan saran dari pembaca mengenai makalah ini Agar kedepannya Kami dapat membuat makalah yang lebih baik lagi.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
                                                                        Bandung, Desember 2016

                                                                                                     Tim Penyusun

DAFTAR ISI




BAB I

PENDAHULUAN


1.1              LATAR BELAKANG

Manusia adalah mahluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri tanpa berinteraksi dengan dengan orang lain. Dalam istilah di atur segala tingkah laku manusia yang mengharuskan adanya interksi dengan sesama yakni dalam kajian fiqh muamalah, yang mana didalamnya juga membahas aturan gadai, waqalah, sewa menyewa, hibah, shadaqoh, wakaf dan wasiat.
Dalam semua masalah ini, adanya suatu rukun dan syarat yang harus dipenuhi antara kedua belah pihak yang mengadakan suatu interaksi tersebut. Para ulama berpendapat tentang kecakapan bertidak didalam lapangan muamalah ini ditentukan oleh hal-hal yang bersifat fisik dan kejiwaan sehingga segala tindakanyang dilakukannya dapat dipandang sebagai suatu perbuatan yang sah sesuai dengan syariat islam.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang gadai, wakalah, sewa-menyewa, hibah, shadaqoh, waqaf, dan wasiat. Sekaligus sebagai tugas dari dosen mata kuliah “Pendidikan Agama Islam”. Semoga dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membaca makalah ini. 
Tujuan Pembuatan makalah initidak hanya sebagai tugas pada mata kuliah pendidikan agama islam, serta untuk memperluas pengetahuan tentang bagaimana mengetahui serta memahami materi tentang gadai, wakalah, sewa-menyewa, hibah, shadaqoh, waqaf, dan wasiat

1.2              RUMUSAN MASALAH

Dari Latar Belakang di atas, makalah ini dibuat supaya mendeskripsikan secara umum tentang:
1.      Apa pengertian gadai, dasar hukum gadai, rukun dan syarat gadai, macam-macam atau Jenis-jenis gadai dan manfaat gadai?
2.      Apa pengertian wakalah, dasar hukum wakalah, rukun dan syarat wakalah?
3.      Apa pengertian sewa-menyewa (ijarah), dasar hukum syariat tentang sewa-menyewa?








BAB II

PEMBAHASAN


2.1       GADAI

A.    Pengertian Gadai (Rahn)

Menurut bahasa, rahn artinya adalah tetap dan berkesinmbungan. Disebut juga dengan al-habsu yang artinya menahan.
Contoh penggunaannya dalam kalimat, “Ni’matun Rahinah” yang bermakna karunia yang tetap dan berkesinambungan. Penggunaan rahn unuk makna al-habsu “menahan”, dimuat dalam Al-Qur’an, “tiap-tiap peribadi terikat (tertahan) dengan atas apa yang telah diperbuatnya.” (al-muddatsir 74:38)
Menurut istilah syara, gadai atau rahn didefinisikan oleh Sayyid Sabiq yang mengutip pendapat Hanafiyah sebagai berikut, sesungguhnya rahn (gadai) adalah menjadikan benda yang memiliki nialai harta dalam pandangan syara’ sebagai jaminan untuk utang, dengan ketentuan dimungkinkan untuk mengambil semua utang, atau mengambil sebagiannya dari benda (jaminan) tersebut.
Syafi’iyah, sebagaimana dikutip oleh Wahbah Zuhaili, memberikan definisi gadai (rahn) sebagai berikut, Gadai adalah menjadikan suatu benda sebagai jaminan untutk hutang, dimana utang tersebut bisa dilunasi (dibayar) dari benda (jaminan) tersebut ketika pelunasannya mengalami kesulitan.
Hanabilah memberikan definisi rahn sebagai berikut, Gadai adalah harta yang dijadikan sebagai jaminan untuk utang yang bisa dilunasi dari harganya, apabilaterjadi kesulitan dalam pengambilannya dari orang yang berutang.   
Malikiyah membrikan definisi gadai (rahn) sebagai berikut, Rahn adalah sesuatu yang bernilai harta yang diambil dari pemiliknya sebagai jaminan untuk utang yang tetap (mengikat) atau menjadi tetap. Dari definisi-definisi yang dikemukakan oleh ulama mazhab tersebut dapat dikemukakan bahwa dikalangan ulama tidak terdapat perbedaan yang mendasar dalam mendafinisikan gadai (rahn). Dari definisi yang dikemukakan tersebut dapat diambil intisari bahwa gadai (rahn) adalah menjadikan suatu barang sebagai jaminan atas utang, dengan ketentuan bahwa apabila terjai kesulitan dalam pembayarannya maka utang tersebut bisa dibayar dari hasil penjualan barang yang dijadikan jaminan itu.

B.     Dasar Hukum Gadai (Rahn)

Gadai (rahn) hukumnya dibolehkan berdasarkan Al-quran, sunnah, dan ijma. Adpun dasar dari Al-quran tercantum dalam suah Al-Baqarah (2) ayat 283. Yang artinya:
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalat tidak secara tunai) sedangkan kamu tidak mempeeroleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebgian yang lain, maka hendalah yang dipercayai itu menunaikan amanahnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada alloh tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian.Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan alloh maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Hadis Anas:
“dari Anas ia berkata: Rasulullah SAW menggadaikan baju perang kepada seorang yahudi di Madinah, dan dari orang yahudi itu beliau mengambil sya’ir (jagung) untuk keluarganya”. (HR. Ahmad, Al-Bukhari, Nasa’i, dan Ibnu Majah)
Hadis Aisyah:
“Dari Aisyah bahwa Nabi SAW mmbeli makanan dari seorang Yahudi dengan pembayaran tempo, dan beliau menggadaikan kepada Yahudi itu satu baju perang yang terbuat daru besi. Dan dalam redaksi yang lain: Nabi wafat, sedangkan baju perangnya di gadaikan kepadaseorang Yahudi dengan tiga puluh liter (sha’) syair (jagung)”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dari ayat dan hadis-hadis terebut jelaslah bahwa gadai (rahn) hukumnya dibolehkan, baik bagi orang yang sedang dalam perjalanan maupun orang yang tinggal dirumah. Memang dalam surah Al-Baqarah (2) ayat 283, gadai dikaitkan dengan safar (perjalanan). Akan tetapi, dalam hadis-hadis tersebut Nabi SAW melaksanakan gadai (rahn) ketika sedang di Madinah. Ini menunjukkan bahwa gadai tidak terbatas hanya dalam perjalanan saja, tetapi juga bagi orang yang tinggal dirumah. Pendapat ini dikemukakan oleh jumhur ulama. Sedangkan menurut imam Mujahid, Dhahhak, dan Zhahiriyah, gadai (rahn) hanya dibolehkan bagi orang yang sedang dalam perjalanan, sesuai denganayat 283 Surah Al-Baqarah (2) tersebut ditas.

C.    Rukun dan Syarat Gadai

1)      Rukun gadai
Gadai memiliki empat unsur, yaitu rahin, murtahin, marhun, dan marhunbih. Rahin adalah orang yang memberikan gadai, murtahin adalah orang yang menerimaa gadai, marhun atau rahn adalah harta yang digadaikan untuk menjamin utang, dan marhunbih adalah utang. 
Hanafiyah tidak melihat kepada keempat unsur tersebut, melainkan melihat kepada pertanyaan yang dikeluarkan oleh para pelaku gadai, yaitu rahin dan murtahin. Oleh karna itu, hanafiyah menyatakan bahwa rukun gadai adalah ijab dan qabul yang dinyatakan oleh rahin dan murtahin.
Menurut jumhur ulama rukun gadai ada empat, yaitu
·         Aqid
·         Shigat
·         Marhun (benda yang digadaikan), dan
·         Marhunbih (utang)
2)      Syarat-syarat Gadai
a.       Syarat Aqid
Syarat yang harus dipenuhi oleh aqid dlam gadai yaitu rahin dan murthin, adalah ahliyah (kecakapan). Ahliyah (kecakapan) menurut Hanafiyah adalah kecakapan untuk melakukan jual beli. Artinya, setiap orang yang sah melakukan jul beli, sah pula orang yang melakukan gadai. Hal ini dikarenakan rahn atau gadai adalah suatu tasaruf yang bekaitan dengan harta, seperti halnya jual beli. Dengan demikian, untuk sahnya akad gadai, pelaku disyaratkan erakal dan mumayyiz. Maka tidak sah gadai yang diakukan oleh orang gila atau anak yang belum memasuki masa tamyiz.
Menurut jumhur ulama selain hanafiyah, kecakapan dalam gadai sama dengan kecakapan untuk mlakukan jual beli dan akad tabarru’. Hal ini dikarenakan akad gadai adalah akad tabarru’, oleh krena itu tidak sah akad gadai yang dilkukan oleh oang yang dipaksa, anak yang dibawah umur, gila, boros dan pailit.
b.    Syarat Shighat
Menurut Hanafiyah, shighat gadai (rahn) tidak boleh digantungkan dengan syarat, dan tidak disandarkan kepada masa yang kan datang. Hal ini dikarenakan akad gadai menyerupai akad jual beli, dilihat dari aspek pelunasan utang. Apabila akad gadai digantungkan kepada syarat atau disandarkan kepada masa yang akan datang, maka akad menjadi fasid seperti halnya jual beli.
c.       Syarat Marhun
Para ulama sepakat bahwa syarat-syarat marhun (barang yang digadaikan) sama dengan syarat jual beli. Artinya, semua barang yang sah di perjualbelikan sah pula digadaikan.
Secara rinci Hanafiah mengemukakan bahwa syarat-syarat marhun adalah sebagai berikut.
1.      Barang yang digadaikan bisa dijual, yakni barang tersebut harus ada pada waktu akad dan mungkin untuk diserahkan.
2.      Barang yang digadaikan harus berupa mal (harta)
2.      Barang yang digadaikan harus mal mutaqawwim.
3.      Barang yang digadai harus jelas
4.      Barang tersebut dimiliki oleh rahin
d.      Syarat Marhun bih
Marhun bih adalah suatu hak yang karenanya barng gadaian diberikan sebagai jaminan kepada rahin. Menurut Hanafiah, marhun bih harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut
·         Mahun bih harus berupa hak yang wajib diserahkan kepada pemiliknya, yaitu rhin karna tidak perlu memberikan jaminan tanpa ada barang yang dijaminnya.
·         Pelunasan utang memungkinkan untuk diambil dari marhun bih.
·         Hak marhun bih harus jelas, tidk boleh majhul.

D.    Macam-macam atau Jenis-jenis Gadai

a)      Rahn iqar/resmi (rahn takmini/rahn tasjily)
Merupakan bentuk gadai, dimana barang yang digadaikan henya dipindahkan kepemilikannya, namun barangnya sendiri masih tetap dikuasai dan dipgunakan oleh pemberi gadai, contohnya A memiliki utang kepada B sebesar Rp. 10 juta sebagai jaminan atas pelunasan utang tersebut. A menyerahkan BPKB mobilnya kepada B secara rahn iqar. Walaupun surat-surat kepemilikan atas mobil diserahkan pada B namun mobil tersebut tetap berada ditangan A dan dipergunakan untuk keperluannya sehari-hari, jadi yang bepindah hanyalah bukti-bukti kepemiikan atas mobil tersebut.
b)      Rahn Hiyazi
Bentuk rahn Hiyazi inilah yang sangat mirip dengan konsep gadai baik dalam hukum adat maupun dalam hukum positif. Jadi berbeda dengan rahn iqar yang hanya menyerhkan hak kepemilikan atas barang, maka pada rahn Hiyazi tersebut, barangnya pun dikuasai oleh kreditur.

E.     Manfaat Rahn

Manfaat yang dapat diambil oleh bank dari prinsip rahn adalah sebagai berikut:
a.       Menjaga kemungkinan nasabah untuk lalai atau bermain-main dengan fasilitas pembiayaan yang diberikan bank.
b.      Memberikan keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar janji karena ada suatu aset atau barang (marhun) yang dipegang oleh bank.
c.       Jika rahn diterapkan dalam mekanisme pegadaian, sudah barang tentu akan sangat membantu saudara kita yang kesulitan dana, terutama di daerah-daerah.

2.2       WAKALAH

A.    Pengertian Wakalah

Secara etimologi, wakalah memiliki beberapa pengertian yang diantaranya adalah: (al-hifzh) yang berarti perlindungan, atau (al-kifayah) yang berarti pencukupan, atau (al-dhamah) tanggungan, atau (al-tafwidh) berarti pendelegasian yang diartikan juga dengan memberikan kuasa atau mewakilkan. Sedangkan secara terminologi, wakalah berarti mewakilkan atau menyerahkan sesuatu pekerjaan atau urusan kepada orang lain agar bertindak atas nama orang yang mewakilkan dalam masalah dan waktu yang ditentukan.

B.     Pendapat Ulama Tentang Wakalah

Para ulama memiliki pendapat yang berbeda menyangkut wakalah, berikut adalah pandangan dari para ulama:
a.       Menurut Ulama Syafi’iah mengatakan bahwa wakalah adalah ungkapan yang mengandung arti pendelegasian sesuatu oleh seseorang kepada orang lain agar orang lain tersebut melakukan kegiatan yang telah dikuasakan atas nama pemberi kuasa. 
b.      Menurut Ulama Malikiyah, wakalah adalah tindakan seseorang mewakilkan dirinya kepada orang lain untuk melakukan kegiatan yang merupakan haknya, yang mana kegiatan tersebut tidak dikaitkan dengan pemberian kuasa setelah pemberi kuasa wafat, sebab jika kegiatan dikaitkan setelah pemberi kuasa wafat maka sudah berbentuk wasiat. 
c.       Menurut Hashbi Ash Shiddieqy, wakalah adalah akad penyerahan kekuasaan, yang pada akad itu seseorang menunjuk orang lain sebagai penggantinya dalam bertindak (bertasharruf). 
d.      Menurut Sayyid Sabiq, wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada orang lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan.

C.    Dasar Hukum Wakalah

Salah satu dasar dibolehkannya wakalah adalah firman Allah SWT berkenaan dengan kisah Ash-habul Kahfi
a.       Al- Qur’an
وَكَذٰ فَائِلٌ مِّنْهُمْ كَمْلِكَ بَعَثَنٰهُمْ لِيَتَسآءَلُوْا بَيْنَهُمْ ۗ قاَلَ  لَبِِثْتُمْ ۗ قَالُوا لَبِثْنَا يَوْمًًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ ۚ قَالُوْا هِ-رَبُّكُمْأَعْلَمُْ بِمَا لَبِثْتُمْ ۗ فَابْعَثُوْﺁ أَحَدَكُم بِوَرِقِكُمْ هٰذ إِلَى المَدِيْنَةِ فَلْيَنْظُرْ أَﻴُّﮭﺂ أَزْكَىٰ طَعَامًا فَلْيَأْتِكُمْ بِرِزْقٍ مِّنْهُ وَلْيَتَلَطَّفْ وَلاَ يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا
“Dan Demikianlah kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: ‘Sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)’. mereka menjawab: ‘Kita berada (disini) sehari atau setengah hari’. Berkata (yang lain lagi): ‘Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini).Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik. Maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.” (QS. Al-Kahfi: 19)
Ayat ini melukiskan perginya salah seorang ash-habul kahfi yang bertindak untuk dan atas nama rekan-rekannya sebagai wakil mereka dalam memilih dan membeli makanan.
b.      Al-Hadits
Banyak hadits yang dapat dijadikan landasan keabsahan wakalah, di antaranya,
أَنَّ رَ سُو لَ اللهِ صَلَّ لله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بَعَثَ أَباَ رَ افِعٍ وَ رَ جُلا مِنَ الأَنْصَا رِ فَزَوَّجاَهُ مَيْمُو نَة بِنْتَ الْحَارِِ ثِ                
“Bahwasanya Rasulullah saw. mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang Anshar untuk mewakilinya mengawini Maimunah binti al-Harits.”(Malik no. 678, kitab al-Muwaththa’, bab Haji)
Dalam kehidupan sehari-hari, Rasulullah telah mewakilkan kepada orang lain untuk berbagai urusan. Di antaranya adalah membayar hutang, mewakilkan penetapan had dan membayarnya, mewakilkan pengurusan unta, membagi kandang hewan, dll.

D.    Rukun dan Syarat Wakalah

a.       Rukun Wakalah
1)      Muwakil (orang yang mewakilkan/pemberi kuasa).
2)      Wakil (yang mewakili/penerima kuasa).
3)      Muwakkal fih/taukil (obyek yang diwakilkan/dikuasakan).
4)      Shighat (ijab dan qabul).
b.      Syarat-syarat Wakalah
1)      Orang yang mewakilkan ialah dia pemilik barang atau di bawah kekuasaannya dan dapat bertindak pada harta tersebut. Jika yang mewakilkan bukan pemilik atau pengampu, wakalah tersebut batal. Anak kecil yang dapat membedakan baik dan buruk dapat (boleh) mewakilkan tindakan-tindakan yang bermanfaat mahdhah, seperti perwakilan untuk menerima hibah, sedekah, dan wasiat.
2)      Orang yang mewakili hendaknya orang yang sudah baligh dan berakal sehat. Bila seorang wakil itu idiot, gila, atau belum dewasa, maka perwakilan batal. Menurut Hanafiyah, anak kecil yang sudah dapat membedakan yang baik dan buruk sah untuk menjadi wakil, alasannya ialah bahwa Amar bin Sayyidah Ummuh Salah mengawinkan  ibunya kepada Rasulullah saw., saat itu Amar merupakan anak kecil yang masih belum baligh.
3)      Syarat-syarat obyek yang diwakilkan ialah:
1.      Menerima penggantian, maksudnya boleh diwakilkan pada orang lain untuk mengerjakannya, maka tidaklah sah mewakilkan untuk mengerjakan sholat, puasa, dan membaca ayat al-Qur’an, karena hal ini tidak bisa diwakilkan.
2.      Dimiliki oleh yang berwakil ketika ia berwakil itu, maka batal mewakilkan sesuatu yang akan dibeli.
3.      Diketahui dengan jelas, maka batal mewakilkan sesuatu yang masih samar, seperti seseorang berkata: “Aku jadikan engkau sebagai wakilku untuk mengawinkan salah seorang anakku”.

2.3       SEWA MENYEWA

A.    Pengertian Sewa-menyewa (Ijarah)

Secara etimologis, kata ijarah berasal dari kata ajru yang berarti ‘iwadhu pengganti, oleh karena itu tsawah “pahala” disebut juga dengan ajru “upah”.
Pihak pemilik yang menyewakan manfaat sesuatu disebut mu’ajjir, Adapun pihak yang menyawakan disebut musta’jir. Dan sesuatu yang diambil manfaatnya disebut ma’jur. Sedangkan jasa yang diberikan sebagai imbalan atas manfaat tersebut disebut ajrah atau ujrah upah. Menurut istilah para ulama mendefinisikan sewa (ijarah) sebagai berikut:
Menurut Hanafiyah bahwa ijarah adalah akad untuk memolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan disengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan.
Menurut malikiayah ijarah adalah suatu akad yang memberikan hak milik atas manfaat suatu barang yang mubah uantuk masa tertentu dengan imbalan yang bukan berasal dari manfaat.
Menurut syfi’iyah ijarah adalah suatu akad atas manfaat yang dimaksud dan tertentu yang bisa diberikan dan dibolehkan dengan imbalan tertentu.
Menurut hanabilah ijarah adalah suatu akad atas manfaat yang bisa sah dengan lafal ijarah dan kara’ dan semacamnya.
Menurut Sayyid Sabiq bahwa ijarah adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.
Menurut sulaiman rasjid, mempersewakan adalah akad atas manfaat (jasa) dengan maksudyang diketahui, dengan tukaran yang diktahui menurut syarat-syarat yang akan dijelakan kemudian
Dari definisi-definisi tersebut diatas dapat dikemukakan bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan yang prinsip di antara para ulama dalam mengartikan ijarah atau sewa-menyewa. Dari definisi tersebut dapat diambil intisari bahwa ijarah atau sewa-menyewa adalah akad atas manfaat dengan imbalan. Dengan demikian, objek sewa menyewa adalah manfaat atas suatu barang (bukan barang). Seseorang yang menyewa sebuah rumah untuk dijadikan tempat tinggal selama satu tahun dengan imbalan Rp. 3.000.000;00, ia berhak menempati rumah itu untuk waktu satu tahun, tetapi ia tidak memiliki rumah tersebut.
Dari segi imbalannya, ijarah ini mirip dengan jual beli, tetapi kedunya berbeda, karena dalam jual beli obyeknya benda, sedangkan dalam ijarah, obyeknya adalah manfaat dari benda. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan menyewa pohon untuk diambil buahnya karena buah itu benda, buakan manfaat. Demikian pula tidak diperbolehkan menyewa sapi untuk diperah susunya karena susu bukan manfaat, melainkan benda. Suatu manfaat, terkadang berbentuk manfaat atas barang, seperti rumah untuk ditempati mobil untuk di kendarai. Kadang kala dalam bentuk karya seperti karya seorang arsitek, tukang tenun, tukang pewarna, penjahitdan tukang binatu. Bisa pula itu berbentuk kerja kasar pribadi seperti pelayan.

B.     Dasar Hukum Syariat tentang Sewa-menyewa

Para fuqaha sepakat bahwa ijarah merupakan akad yang dibolehkan oleh syara, kecuali beberapa ulama, seperti Abu Bakar Al-Asham, Ismail Bin Aliyah, Hasan Al-Basri, Al-qasyani, Nahrawani, dan Ibnu Kisan.
Mereka tidak membolehkan ijarah, karena ijarah adalah jual beli manfaat, sedangkan manfaat pada saat dilakukannya akad, tidak bisa diserah terimakan. Setelah beberapa waktu barulah manfaat itu dapat dinikmati sedikit demi sedikti. Sedangkan sesuatu yang tidak ada pada waktu akad tidak boleh diperjuabelikan. Akan tetapi, pendapat tersebut disanggah oleh Ibnu Rusyd, bahwa manfaat walaupun pada waktu akad belum ada, tetapi pada galibnya ia (manfaat) akan terwujud, dan inilah yang menjadi perhatian serta pertimbangan syara’.
Alasan jumhur ualama memperbolehkan Ijarah (sewa) adalah
Dalil Al-Qur’an
1.      Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dinia, dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian  mereka dapat mempergunakan yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Asy-Suuara 43:32)
2.      “Dan jika ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apaila kamu memberikan pelayanan menurut yang patut. Bertakwalah kamukepada Alloh maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (al-baqarah 2:233)
3.      “Salah seorang dari wanita itu berkata, ‘Wahai bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.’ Berkata dia (syu’aib),’ Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari putriku ini, atas dasar kamu kamu bekerja denganku delapan tahun, dan jika kamu cukupkan sepuluh ahun, maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak ingin memberkatimu. Dan kamu insya Alloh akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.’ ”(al-Qashash 28 : 26 dan27)
Dalil sunnah,
1.      Dari Riwayat Bukhari bahwa Nabi saw. Pernah menyewa Seseorang dari Bani ad-Diil bernama Abdullah Bin Uraiqith sebagai penunjuk jalan.
2.      Ahmad, Abu Dawud, danan-Nasa’i meriwayatkandari Said din Abi Waqqas r.a. yang berkata, “Dahulu kami menyewakan tanah dengan bayaran tanaman yang tumbuh. Lalu Rasulullah melarang peraktik tersebut dan memerintahkan kami agar membayarnya dengan uang enas atau perak.”
3.      Riwayat ibnu majah, Rasulullah bersabda, “ Berikan upah buruh(barang sawaan) sebelum keringatnya kering.”
Disamping Al-quran dan sunnah, dasar hukum ijarah ijma’. Sejak zaman sahabat sampai sekarang  ijarah telah disepakati oleh para ahli hukum islam, kecuali beberapa ulama yang telah disebutkan diatas. Hal tersebut dikarenakan masyarakat sangat memutuhkan akad ini. Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, ada orang kaya yang memiliki beberapa rumah yang tidak ditempati. Disisi lain ada orang yang tidak memiliki tenpat tinggal. Dengan diboehkannya ijarah maka oarang yang tidak memiliki tempat tinggal bisa menempati rumah orang lain yang tidak digunakan untuk beberapa waktu tertentu, dengan memberikan imbalan berupa uang sewa yang disepakati bersama, tanpa harus membeli rumahnya.

C.    Syarat  dan Rukun Akad Sewa

Adapun ijarah atau sewa menyewa terdiri dari empat jenis persyaratan yaitu:
a.       Syarat terjadinya akad (syarat in’iqad)
Syarat terjadinya akad berkaitan dengan ‘aqid, akad, dan objek akad. Syarat yang berkaitan dengan aqid adalah berakal. Dan mumayyiz menurut Hanafiah, dan balig menurut Syafi’iyah dan Hanabilah. Dengan demikian, akad ijarah tidak sah apabila pelakunya gila atau masih dibawah umur.
b.      Syarat kelangsunga akad (nafadz)
Untuk kelangsungan akad ijarah disyaratkan terpenuhinya hak milik atau wilayah (kekuasaan). Apabila si pelaku tidak mempunyai hak kepemilikan atau kekuasaan (wilayah), seperti akad yang dilakukan oleh fadhuli, maka akadnya tidak bisa dilangsungkan
c.       Syarat sahnya ijarah
1.      Persetujuan kedua belah pihak
2.      Objek akad yaitu manfaat harus jelas, sehingga tidak menimbulkan perselisihan.
2)      Objek akad ijarah harus dapat dipenhi, baik menurut hakiki mapn syr’i
3)      Manfaat yang menjadi objek akad harus manfaat yang dibolehkan oleh syara’.
4)      Pekerjaan yang dilakukan itu bukan fardu dan bukan kewajiban  orang yang disewa (ajir) sebelum dilakukan ijarah.
5)      Orang yang disewa tidak boleh mengambil manfaaat dari pekerjaannya untuk dirinya sendiri.
6)      Manfaat m’aqud ‘alaih harus sesuai dengan tujuan dilakukannya akad ijarah, yang biasa berlaku umum.
d.      Syarat mengikatnya akad ijarah (syarat luzum)
Agar akad ijarah itu mengikat, diperlukan dua syarat
1.      Benda yang disewakan harus terhindar dari cacat (aib) yang menyebabkan terhalangnya pemanfataan atas benda yang disewaan itu. Apabila terdapau suatu cacat (‘aib) yang demikian sifatnya, maka orang yang menyewa bole mamilih antara meneruskan ijarah dengan pengurangan uang sewa dan membatalkannya.
2.      Tidak terdapat udzur (alasan) yang dapat membatalkan akad ijarah. Misalnya udzur pada salah seorang yang melakukan akad, atau pada sesuatu yang disewakan. Apabila terdapat adzur, baik pada pelaku maupun pada ma’qud alaih, maka pelaku berhak membatalkan akad.

D.    Macam-macam atau Jenis-jenis Sewa Menyewa

a.       Ijarah ‘alal manfaat (sewa)
yaitu akad ijarah yang obyeknya berupa manfaat suatu brarang, maksudnya akad ijarah ini adalah untuk mendapatkan manfaat suatu barang. Contohnya Andi menyewa sebuah mobil miliknya si Wawan yang akan digunakan untuk pergi kerumah orang tuanya, dari itulah kita bisa tau bahwa Andi telah mendapatkan manfaat suatu barang yang telah disewanya dari mobil miliknya si Wawan.
b.      Ijarah ‘alal ‘amal (upah).
Yaitu akad ijarah yang objeknya berupa manfaat tenaga kerja/jasa. Maksudnya akad ijarah jenis ini diterapkan untuk mendapatkan manfaat tenaga kerja/jasa. Contohnya Pak Tohir menyewa seorang tukang merbaiki rumah untuk memperbaiki rumahnya yang rusak terkena badai, dengan ini kita bisa tau bahwa Pak Tohir menyewa tenaga tukang rumah itu untuk memperbaiki rumahnya dan apabila tukang rumah telah selesai memperbaiki rumah, maka Pak Tohir akan membayar tukang itu yang disebut denganupah.

2.4       HIBAH

A.    Pengertian Hibah

Secara bahasa hibah adalah pemberian (athiyah), sedangkan menurut istilah hibah yaitu: “akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih hidup dan dilakukan secara sukarela”. Didalam syara’ sendiri menyebutkan hibah mempunyai arti akad yang pokok persoalannya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain diwaktu dia hidup, tanpa adanya imbalan. Apabila seseorang memberikan hartanya kepada orang lain untuk dimanfaatkan tetapi tidak diberikan kepadanya hak kepemilikan maka harta tersebut disebuti’aarah (pinjaman).

B.     Hukum Hibah

Hukum hibah adalah sunah, yakni jika dikerjakan akan memperoleh pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa. Adapun barang yang sudah dihibahkan tidak boleh diminta kembali kecuali hibah orang tua kepada anaknya dalam sabda Nabi: “Tidak halal bagi seseorang yang telah memberi sesuatu pemberian atau menghibahkan suatu hibah atau menarik kembali kecuali orang tuua yang memberi kepada anaknya”.(HR.Abu Daud).

C.    Hikmah Hibah

Terdapat dua hal yang hendak dicapai oleh hibah yakni, Pertama dengan beri memberi akan menimbulkan suasana akrab dan kasih sayang antara sesama manusia.  Sedangkan mempererat hubungan silaturrahmi itu termasuk ajaran dasar agama Islam. Kedua, yang dituju oleh anjuran hibah adalah terbentuknya kerjasama dalam berbuat baik, baik dalam menanggulangi kesulitan saudaranya, maupun dalam membangun lembaga-lembaga sosial.

2.5       SEDEKAH

A.      Pengertian Sedekah

Sedekah secara bahasa berasal dari huruf shad, dal, dan qaf, serta dari unsur ash-shidq yang berarti benar atau jujur. Sedekah menunjukkan kebenaran penghambaan seseorang kepada Allah swt. Secara etimologi, sedekah ialah kata benda yang dipakai untuk suatu hal yang diberikan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengertian sedekah adalah pemberian kepada orang lain dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Dan diberikan kepada orang yang sangat membutuhkan tanpa mengharapkan pengganti pemberian tersebut.

B.       Hukum sedekah

Hukum sedekah itu disunnahkan dan dianjurkan untuk dikeluarkan kapan saja. Dalam al-Qur’an, Allah menyebutkan banyak ayat yang menganjurkan untuk bersedekah, diantaranya Qur’an surat Yusuf: 88, Artinya: “Dan bersedekahlah kepada kami, sesungguhnya Allah memberi balasan kepada orang-orang yang bersedekah.” (QS. Yusuf:88).
Dan juga sesuai dengan sabda Rasul:
“Sesungguhnya sedekah memadamkan amarah Tuhan dan menolak kematian yang buruk.” (HR. At-Tirmidzi, dan Ia mengatakan bahwa hadits ini adalah hasan).

C.   Hikmah Sedekah

a.       Sedekah memberikan pelajaran kepada manusia bahwa sebaik-baik manusia adalah yang dapat memberikan manfaat bagi sesamanya. Sedekah mengingatkan kita akan klemahan manusia. Manusia tidak dapat memungkiri kelemahannya untuk tidak membutuhkan orang lain.
b.      Sedekah merupakan wujud keimanan kepada Allah swt. Keimanan bukan merupakan hubungan manusia dengan Tuhannya saja, melainkan juga bentuk kesadaran dan sikap manusia sebagai makhluk ciptaan Allah swt yang hidup bermasyarakat. Bentuk ketakwaan manusia kepada Allah swt. Dapat dilihat ketika berhubungan dengan sesamanya. Sedekah merupakan bentuk ibadah kepada Allah swt. Dalam dimensi sosial kemanusiaan.
c.       Sedekah dapat menambah hubungan kekeluargaan diantara sesama manusia.

2.6       WAKAF

A.    Pengertian Wakaf

Dalam kompilasi hukum Islam, wakaf adalah perbuatan hukum seorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagaian dari harta benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam. Wakaf menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.

B.     Dasar Hukum Wakaf

  1. Dasar Umum Wakaf
Hukum wakaf adalah sunah, salah satu dalil yang menjadi dasar amalan wakaf adalah Al-Qur’an yang memerintahkan agar manusia selalu berbuat kebaikan, seperti yang terdapat dalam surah al-Hajj ayat 77.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ    
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Rukuklah, Sujudlah, dan sembahlah Tuhan mu dan berbuatlah kebaikan agar kamu beruntung.”
  1. Dasar Khusus Wakaf
Dasar khusus mengenai amalan wakaf dapat dijumpai dalam kisah sahabat Rasulullah saw. yang mewakafkan hartanya, yakni Umar bin Khattab, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Nailul Autar karya seorang ulama al-Azhar (kairo) Syekh Faisal bin Abdul Aziz al-Mubarak sebagai berikut:
Artinya: “lalu apa yang hendak engku perintahkan kepadaku?” Maka jawab Nabi, “ jika engkau suka, tahanlah pangkalnya dan sedekahkanlah hasilnya!” lalu Umar menyedekahkan dengan syarat tidak boleh dijual, tidak boleh diberikan, dan tidak boleh diwarisi, yaitu untuk orang-orang fakir, keluarga dekat, memerdekakan hamba sahaya, untuk jalan Allah, untuk orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan (ibnu sabil), dan menjamu tamu. Tidak berdosa orang yang mengurusinya itu untuk memakan sebagiannya dengan cara yang wajar dan untuk member makan (kepada keluarganya) dengan syarat jangan dijadikan hak milik. Dalam satu hadis yang lain, Ibnu Sirin berkata,”Dengan syarat jangan dikuasai pokoknya.” (H.R. al-Bukhari: 2532).
Maksud dari pernyataan jika engkau suka, tahanlah pangkalnya dan sedekahkanlah hasilnya, adalah bahwa tanah tersebut boleh diambil manfaatnya.

C.    Rukun Wakaf

  1. Ada yang berwakaf, Syaratnya:
·         Berhak berbuat kebaikan, sekalipun ia bukan Islam.
·         Kehendak sendiri; tidak sah karena dipaksa
  1. Ada barang yang diwakafkan, Syaratnya:
·         Kekal zatnya, berarti bila manfaatnya diambil, zat barang itu tidak rusak
·         Kepunyaan yang mewakafkan, walaupun musya’(bercampur dan tidak dapat dipisahkan dari yang lain).
  1. Ada tempat berwakaf (yang berhak menerima hasil wakaf tersebut).
Kalau berwakaf kepada orang tertentu, orang yang berhak menerima hasil wakaf tersebut hendaknya orang yang berhak memiliki sesuatu.
  1. Lafaz,
Seperti:saya wakafkan ini kepada orang-orang miskin,”atau“ saya wakafkan ini untuk membuat benteng,” dan sebagainya.
Kalau mewakafkan kepada sesuatau yang tertentu hendaklah ada Kabul (jawab), tetapi wakaf untuk umum tidak disyariatkan Kabul.
  1. Syarat Wakaf
  1. Selama-lamanya,
Berarti tidak dibatasi dengan waktu. Maka jika seorang berkata, “saya wakafkan ini kepada fakir miskin dalam masa satu tahun”, wakaf semacam itu tidak sah karena tidak selamanya.
  1. Tunai dan tidak ada khiyar syarat,
Sebab wakaf itu maksudnya adalah memindahkan milik pada waktu itu.
Jika disyaratkan khiyar, atau dia berkata, “Kalau si A datang, saya wakafkan ini kepada murid-murid, “maka wakaf semacam ini tidak sah karena tidak tunai. Kecuali kalau dihubungkan dengan mati, umpamanya dia berkata, “saya wakafkan sawah saya sesudah saya mati kepada ulama Jakarta, “maka lafaz ini sah menjadi wasiat bukan wakaf.
  1. Hendaklah jelas kepada siapa diwakafkan,
Kalau dia berkata, “saya wakafkan rumah ini” wakaf itu tidak sah karena tidak jelas kepada siapa diwakafkannya.

D.    Macam-Macam Wakaf

a.       Wakaf Ahly (wakaf keluarga)
Wakaf ahly adalah wakaf yang diserahkan untuk kepentingan pembinaan anggota keluarga atau kerabatnya, Misalnya, wakaf sesuatu yang produktif untuk kepentingan pendidikan seluruh anggota keluarga sampai mereka sukses.
b.      Wakaf Khairy (wakaf yang baik) atau wakaf sosial
Wakaf khairy adalah wakaf yang dikeluarkan untuk kepentingan bersama. Misalnya, wakaf tanah untuk pembangunan masjid dan madrasah. Wakaf semacam ini dapat dirasakan oleh masyarakat banyak, tidak seperti wakaf ahlyyang keuntungannya hanya dimiliki oleh keluarganya.

E.     Pengawasan Harta Wakaf

Untuk pengawas wakaf yang sifatnya perorangan diperlukan syarat-syarat sebaga berikut:
a.       Berakal sehat,
c.       Baligh,
d.      Dapat dipercaya, dan
e.       Mampu melaksanakan urusan-urusan wakaf.
Bila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi. Hakim berhak menunjuk orang lain yang mempunyai hubungan kerabat dengan wakif. Bila kerabat juga tidak ada, maka ditunjuk orang lain. Agar pengawasan dapat berjalan dengan baik, pengawas wakaf yang bersifat perorangan boleh diberi imbalan secukupnya sebagai gajinya atau boleh diambil dari hasil harta wakaf. Pengawas harta wakaf berwenang melakukan perkara-perkara yang dapat mendatangkan kebaikan harta wakaf dan mewujudkan keuntungan-keuntungan bagi tujuan wakaf, dengan memperhatikan syarat-syarat yang ditentukan wakaf.

F.     Hikmah Wakaf

Hikmah wakaf, antara lain mendidik manusia agar tidak kikir dan tolong menolong sesame manusia untuk mencari rida Allah swt. berbuat baik kepada orang lain dengan cara memberikan harta kekayaan dalam bentuk benda apapun (dapat berupa tanah), tidak akan pernah disia-siakan oleh Allah swt. sebagaimana dilakukan oleh khalifah Umar atau Abu Talhah yang mewakafkan kebun kurma yang paling dicintainya atau Utsman yang mewakafkan mata air dan seekor kuda untuk berburu atau berperang untuk kaum muslim.

2.7       WASIAT

A.    Pengertian Wasiat

Istilah wasiat diambil dari Washaitu-ushi asy-syai’a (aku menyambung sesuatu). Orang yang berwasiat menyambung apa yang ada di dalam hidupnya setelah kematiannya. Dalam syariat, wasiat adalah penghibahan benda, piutang, atau manfaat oleh seseorang kepada orang lain dengan ketentuan bahwa orang yang diberi wasiat memiliki hibah tersebut setelah kematian orang yang berwasiat.
Sebagian ulama mendefinisikan wasiat sebagai pemberian kepemilikan yang disandarkan kepada masa setelah kematian melalui derma. Dari definisi ini tampak jelas perbedaan antara hibah dan wasiat. Kepemilikan yang didapatkan dari hibah tetap seketika itu juga, sementara kepemilikan yang didapatkan dari dari wasiat tidak tidak tetap kecuali setelah kematian. Dari sisi lain, hibah tidak dilakukan kecuali dengan benda, sementara wasiat dilakukan dengan benda, piutang, dan manfaat.

B.     Dasar Hukum Wasiat

Wasiat disyariatkannya berdasarkan Al-Kitab, As-Sunnah dan ijma’(karena umat islam sejak dari Rasulullah sampai saat ini banyak melakukan wasiat dan ternyata hal itu tidak pernah diingkari oleh seorangpun) :
Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 180
“Diwajibkan atas kamu, jika maut hendak menjemput seseorang di antara kamu, jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk untuk kedua orng tua dan karib kerabat dengan cara yang baik, (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yng bertakwa “
Firman Allah dalam QS. An-Nisa: 11
Firman Allah dalam QS. Al-Ma’idah: 106
Dalam Sunnah, Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Tidaklah patut bagi seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang dapat diwasiatkannya untuk bermalam selama dua malam kecuali wasiatnya itu sudah tertulis disisinya.” (Hadis riwayat Bukhari dan Muslim), Hadis ini menyebut kalimah 'tidak sepatutnya' menunjukkan bahwa langkah persediaan perlu diambil oleh setiap seorang Muslim dengan menulis wasiatnya karena dia tidak mengetahui bila ajalnya akan tiba. Kemungkinan kelalaiannya akan mengakibatkan segala hajatnya terkendala dan tidak terlaksana.
Sabda Rasulullahs.a.w. lagi:
“Barang siapa mati dengan meninggalkan wasiat makadiatelah mati di atasjalandansunnah, mati di atas ketakwaan dan kesyahidan, dan mati dalam keadaan diampuni.”(HadisriwayatIbnuMajjah)

C.     Hukum Wasiat

Hukum wasiat itu ada beberapa macam yaitu:
·         Wajib
Wasiat itu wajib dalam keadaan jika manusia mempunyai kewajiban syara’ yang dikhawatirkan akan disiasiakan bila dia tidak berwasiat, seperti adanya titipan, hutang kepada Allah dan hutang kepada manusia. Misalnya dia mempunyai kewajiban zakat yang belum ditunaikan, atau haji yang belum dilaksanakan, atau amanat yang harus disampaikan, atau dia mempunyai hutang yang tidak diketahui selain dirinya, atau dia mempunyai titipan yang tidak dipersaksikan.
·         Sunah
Wasiat itu disunatkan bila diperuntukkan bagi kebajikan, karib kerabat, orang-orang fakir dan orang-orang saleh.
·                Haram
Wasiat itu diharamkan jika ia merugikan ahli waris. Wasiat yang maksudnya merugikan ahli waris seperti ini adalah batil, sekalipun wasiat itu mencapai sepertiga harta. Diharamkan juga mewasiatkan khamar, membangun gereja, atau tempat hiburan.
·         Makruh
Wasiat itu makruh jika orang yang berwasiat sedikit harta, sedang dia mempunyai seorang atau banyak ahli waris yang membutuhkan hartanya. Demikian pula dimakruhkan wasiat kepada orang yang fasik jika diketahui atau diduga keras bahwa mereka akan menggunakan harta itu di dalam kefasikan dan kerusakan.
·         Mubah
Wasiat diperbolehkan bila ia ditujukan kepada orang yang kaya, baik orang yang diwasiati itu kerabat ataupun orang jauh (bukan kerabat).

D.    Rukun dan Syarat Wasiat

Rukun wasiat
1)      orang yang berwasiat
2)      orang yang menerima wasiat
3)      barang yang diwasiatkan
4)      sighat
Syarat wasiat
Syarat orang yang berwasiat disyaratkan agar orang yang memberi wasiat itu adalah orang yang ahli kebaikan, yaitu orang yang mempunyai kompetensi (kecakapan) yang sah.
Syarat orang yang menerima wasiatbukan ahli waris dari orang yang berwasiat.Orang yang diberi wasiat disyaratkan ada dan benar-benar ada disaat wasiat dilaksanakan baik ada secara nyata maupun secara perkiraan, seperti berwasiat kepada anak dalam kandungan, maka kandungan itu harus ada diwaktu wasiat diterima. Orang yang diberi wasiat bukan lah orang yang membunuh orang yang memberi wasiat.
Syarat benda yang diwasiatkan, pada dasarnya benda yang menjadi objek wasiat adalah benda-benda atau manfaat yang bisa dimiliki dan dapat digunakan untuk kepentingan manusia secara positif.

E.     Batalnya Wasiat

Wasiat menjadi batal dengan tidak terpenuhnya salah satu darisyarat yang ada pada wasiat, misalnya sebagai berikut:
Bila orang yang berwasiat itu gila dan kegilaannya itu parah yang menyampaikannya pada kematian.
Bila orang yang diberi wasiat mati sebelum orang yang memberi wasiat.
Bila sesuatu yang diwasiatkan adalah tertentu danmusnah sebelum orang yang diberi wasiat menerimanya.

F.     Hikmah Wasiat

Pembolehan pemberian wasiat atas harta menegaskan akan hak pemilik harta yang masih utuh.
Melakukan amal kebajikan dan amal jariyah.
Jalan keluar untuk mendistribusikan harta kepada kaum kerabat.
Pembatasan wasiat sampai 1/3 untuk memberikan perlindungan kepada ahli waris.

BAB III

PENUTUP


3.1       KESIMPUULAN

Dari pembahasan diatas dapat kami simpulakn sebagai berikut:
  1. Gadai (rahn) adalah menjadikan suatu barang sebagai jaminan atas utang, dengan ketentuan bahwa apabila terjadi kesulitan dalam pembayarannya maka utang tersebut bisa dibayar dari hasil penjualan barang yang dijadikan jaminan itu.
  2. Gadai (rahn) hukumnya dibolehkan berdasarkan Al-quran, sunnah dan ijma.
  3. Rukun gadai (Aqid, Shigat, Marhun (benda yang digadaikan), dan Marhunbih (utang)
  4. syarat-syarat gadai (syarat aqid, syarat shighat, syarat marhun, syarat marhun bih)
  5. Macam-macam atau jenis-jenis gadai (Rahn iqar /resmi (rahn takmini/rahn tasjily, Rahn Hiyazi )
  6. Wakalah berarti mewakilkan atau menyerahkan sesuatu pekerjaan atau urusan kepada orang lain agar bertindak atasnama orang yang mewakilkan dalam masalah dan waktu yang ditentukan.
  7. Rukun Wakalah :
         Muwakil (orang yang mewakilkan/pemberi kuasa).
         Wakil (yang mewakili/penerima kuasa).
         Muwakkal fih/taukil (obyek yang diwakilkan/dikuasakan).
         Shighat (ijab dan qabul).
  1. Syarat-syarat Wakalah :
         Orang yang mewakilkan ialah dia pemilik barang atau di bawah kekuasaannya dan dapat bertindak pada harta tersebut.
         Orang yang mewakili hendaknya orang yang sudah baligh dan berakal sehat.
  1. Sewa-menyewa adalah akad atas manfaat dengan imbalan. Dengan demikian, objek sewa menyewa adalah manfaat atas suatu barang (bukan barang).
  2. Syarat terjadinya akad ijarah(syarat in’iqad)
         Syarat kelangsunga akad (nafadz)
         Syarat sahnya ijarah
         Syarat mengikatnya akad ijarah (syarat luzum)
  1. Macam-macam atau jenis-jenis sewa menyewa (ijarah ‘alal manfaat (sewa) ,  ijarah ‘alal ‘amal (upah) )
  2. Didalam syara’ sendiri menyebutkan hibah mempunyai arti akad yang pokok persoalannya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain diwaktu dia hidup, tanpa adanya imbalan.
  3. Hukum hibah adalah sunah, yakni jika dikerjakan akan memperoleh pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa.
  4. Sedekah adalah pemberian kepada orang lain dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Dan diberikan kepada orang yang sangat membutuhkan tanpa mengharapkan pengganti pemberian tersebut.
  5. Wakaf adalah perbuatan hukum seorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagaian dari harta benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
  6. Rukun wakaf, Ada yang berwakaf, ada barang yang diwakafkan, lafaz, ada tempat berwakaf (yang berhak menerima hasil wakaf tersebut).
  7. Pengawasan harta wakaf (Berakal sehat, Baligh, Dapat dipercaya, dan Mampu melaksanakan urusan-urusan wakaf )
  8. Dalam syariat, wasiat adalah penghibahan benda, piutang, atau manfaat oleh seseorang kepada orang lain dengan ketentuan bahwa orang yang diberi wasiat memiliki hibah tersebut setelah kematian orang yang berwasiat
  9. Rukun wasiat (orang yang berwasiat, orang yang menerima wasiat, barang yang diwasiatkan, sighat )

DAFTAR PUSTAKA


Rasyid, sulaiman. 1994. Fiqh islam (hukum fiqh lengkap) . Bandung:Sinar Baru Algensindo
Karim, Helmi, Fiqih Mua’amalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997.
http://dianalestari29.blogspot.co.id/2015/04/wasiatwakafhibah-dan-hadiah.html




Tidak ada komentar:

Posting Komentar